Yogyakarta (ANTARA) – Sejarawan Universitas Gadjah Mada (UGM) sekaligus pakar penulisan naskah akademik Hari Pemberlakuan Kedaulatan Negara Sri Margana memastikan Keputusan Presiden (Keppres) RI 2/2022 tidak menghilangkan peran Soeharto dalam peristiwa tersebut. Serangan Umum 1 Maret 1949.
“Baru-baru ini ada protes bahwa dalam Keppres (peran) Pak Harto tidak dicantumkan, bahkan dihilangkan peran Suharto. Itu tidak benar karena dalam naskah akademik kami jelas Letkol Suharto ditunjuk untuk memimpin penyerangan itu,” Sri Demikian disampaikan Margana dalam diskusi virtual bertajuk “Memahami Perpres Nomor 2 Tentang Hari Penegak Kedaulatan Negara” yang dipantau di Yogyakarta, Senin.
Dalam naskah akademik, Margana menjelaskan, nama Suharto bahkan disebut 48 kali. “Ini untuk menunjukkan peran Soeharto dalam Serangan Umum 1 Maret,” katanya.
Menurut Margana, Perpres tersebut merupakan dokumen administrasi yang tujuannya tidak lain adalah untuk menetapkan Hari Penegak Kedaulatan Negara.
“Mari kita kembali pada esensi pentingnya acara ini sebagai momentum memperingati Hari Pemberlakuan Kedaulatan Negara,” ujarnya.
Baca Juga: Sultan HB X: Semangat juang Serangan Umum 1 Maret Harus Dijaga
Baca juga: Sultan: Serangan Umum 1 Maret Ingatkan Pentingnya Kedaulatan Negara
Lebih lanjut, Margana menjelaskan bahwa perang gerilya untuk merebut kembali Yogyakarta bukan karena jasa satu tokoh saja, tetapi atas kerja kolektif banyak tokoh dan pejuang dengan strategi militer yang sangat kuat.
“Ini adalah proses kolektif yang melibatkan banyak orang. Ini bukan acara seperti ‘lone ranger’ yang dilakukan oleh satu orang,” katanya.
Serangan umum 1 Maret itu, kata Margana, melibatkan lebih dari 2.000 personel, termasuk TNI, Polri, Laskar, dan berbagai komponen lainnya.
Karena tidak mungkin disebutkan semuanya, maka yang dicantumkan hanya pimpinan tertinggi atau wakil yang mewakili masing-masing lembaga, seperti nama Panglima Besar Jenderal Sudirman, Letnan Kolonel Suharto, Soekarno, Hatta, dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Margana mengatakan Serangan Umum 1 Maret merupakan penguatan kedaulatan Indonesia secara internasional dari perspektif militer.
Sementara itu, kedaulatan politik negara terus diperkuat melalui berbagai upaya diplomasi yang dilakukan oleh Soekarno, Hatta, dan sejumlah pejabat tinggi lainnya meskipun mereka diasingkan di Menumbing di Pulau Bangka.
Meski berada di penjara, mereka tetap berjuang melalui jalur diplomasi yang disebut “counter propaganda” karena saat itu diplomat Belanda Van Royen terus melontarkan informasi palsu di dunia internasional tentang keberadaan Indonesia.
Melalui Committee of Good Offices, Hatta dan Mohammad Roem mengirimkan surat setebal 54 ke Dewan Keamanan PBB, yang memastikan bahwa Indonesia bukan yang dibicarakan Belanda.
Namun, kata Margana, diplomasi membutuhkan dukungan militer karena untuk menunjukkan keberadaan Indonesia tidak hanya politik, tetapi juga harus dibuktikan secara militer.
“Kemudian Sri Sultan Hamengku Buwono IX pindah ke Yogyakarta dengan melontarkan gagasan tentang Serangan Umum 1 Maret,” katanya.
Margana mengatakan, HB IX yang saat itu menjabat sebagai Menteri Pertahanan RI kemudian memanggil Soeharto yang saat itu berpangkat Letnan Kolonel untuk membahas rencana Serangan Umum 1 Maret.
“Sultan yang memprakarsai Serangan Umum 1 Maret, kemudian Sultan HB IX juga memanggil Letnan Kolonel Suharto untuk bertemu membahasnya,” kata Margana.
Wartawan: Luqman Hakim
Editor: Chandra Hamdani Noor
HAK CIPTA © ANTARA 2022