Jakarta (ANTARA) – Peneliti senior di Lee Kuan Yew School of Public Policy, Evan A. Laksamana, menyebut China menggunakan taktik zona abu-abu (grey zone).zona abu-abu) dalam masalah di Laut Cina Selatan (LSC) yang berarti melakukan taktik tanpa kekuatan militer langsung.
Taktik tersebut meliputi proses pembuatan code of conduct untuk mengatur negara-negara yang terlibat dalam LSC (Code of Conduct) antara China dan negara-negara ASEAN.
“Karena proses negosiasi ini memakan waktu, China malah memanfaatkannya untuk meningkatkan kemampuan militernya dan secara perlahan berusaha mengambil alih, menguasai, bahkan membangun aset militer di sekitar LSC,” ujarnya dalam webinar, Jakarta, Rabu.
Dari perspektif politik, lanjutnya, China mencari elit politik yang tidak begitu memahami United Nations Convention of the Law of the Sea/UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) atau tentang LSC.
Jadi, seolah-olah elit politik bisa diajak bekerja sama dan membicarakan kepentingan bersama. Padahal, yang jelas tidak ada yang perlu dibicarakan dalam konteks hak maritim karena China (China) tidak memiliki hak maritim apa pun, kata Evan.
Baca juga: Kasal: Pembentukan Komando Militer Indonesia untuk Hadapi Situasi di Laut China Selatan
Dari sisi hukum internasional, China dinilai perlahan berusaha mengubah berbagai norma dalam UNCLOS dengan menciptakan berbagai istilah baru.
Menurutnya, UNCLOS sangat sakral karena status Indonesia sebagai negara kepulauan berdasarkan konvensi hukum laut. “Jadi kami sangat dirugikan jika UNCLOS secara perlahan diubah oleh China,” ujarnya.
Terakhir, dari sisi ekonomi, ketergantungan ekonomi pada China dinilai melemahkan posisi Indonesia ketika kepentingan tanah air harus berseberangan dengan negeri tirai bambu.
Baca juga: Malaysia: Kode Etik Soal Laut China Selatan Tidak Melanggar Kedaulatan
Wartawan: M Baqir Idrus Alatas
Editor: M Razi Rahman
HAK CIPTA © ANTARA 2022