Partai Gelora usulkan uji materi UU Pilkada terkait serentak

Jakarta (ANTARA) – Partai Gelora Indonesia mengajukan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Pasal 167 Ayat (3) dan Pasal 347 Ayat (1) yang mengatur tentang pemilu serentak.

“Partai Gelora berharap Pemilu 2024 tidak digelar serentak, karena ada preseden buruk Pemilu 2019 yang menewaskan hampir sembilan ratus petugas dari Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS),” kata Ketua Bidang Hukum dan Divisi HAM DPN Partai Gelora Indonesia Amin Fahrudin dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.

Dia menilai hasil pemilu serentak yang digelar pada 2019 menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan demokrasi. Menurutnya, ancaman yang ada saat ini adalah mekanisme ‘check and balance’ tidak berjalan sebagaimana mestinya, karena kekuasaan eksekutif telah mencengkeram DPR sebagai lembaga legislatif.

“Hal ini terjadi antara lain dalam pengesahan RUU Cipta Kerja pada November 2020 yang telah mengubah begitu banyak aspek dunia usaha, ketenagakerjaan, pendidikan dan sebagainya,” ujarnya.

Oleh karena itu, menurut dia, akar permasalahannya dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan Pilkada serentak 2019, yang juga akan diterapkan pada Pemilu 2024, telah menimbulkan berbagai permasalahan.

Amin menjelaskan, pemilihan umum serentak menyebabkan pemilih lebih fokus pada pemilihan presiden, itu terlihat dari perbandingan suara tidak sah pada pemilihan umum 2019, yaitu suara tidak sah untuk pemilihan presiden mencapai 2,38 persen (3.754.905 suara).

Sedangkan menurut dia, suara tidak sah pemilihan anggota DPR mencapai 11,12 persen (29.710.175 suara) dan suara tidak sah pemilihan anggota DPD mencapai 19,02 persen (17.503.393 suara).

“Pilkada serentak membagi perhatian pemilih yaitu perhatian lebih tertuju pada pemilihan presiden dibandingkan pemilihan anggota DPR dan DPD. Pemilih datang ke bilik suara yang sama tetapi perbandingan suara tidak sah sangat jauh antara pemilihan presiden dan pemilihan presiden. dan pemilihan legislatif,” katanya.

Amin menilai kondisi ini merugikan keberlangsungan demokrasi di Indonesia karena anggota legislatif yang terpilih bisa jadi merupakan sisa-sisa perhatian publik yang tersedot ke dalam pemilihan presiden.

Menurutnya, hal tersebut berdampak pada saat ini, yakni DPR tidak mampu menyeimbangkan eksekutif dalam proses menjalankan pemerintahan.

Baca juga: Mahkamah Konstitusi Konsisten dengan Konstitusi 20 persen “presidential threshold”
Baca juga: Anggota DPR: Keputusan terkait “presidential threshold” harus dihormati
Baca juga: Needdem Menyayangkan Putusan MK Soal “Presidential Threshold”

“Pilkada serentak juga menelan korban jiwa petugas PPS dan PPK, sebanyak 894 petugas PPS meninggal dunia dan 5.175 petugas pemilu mengalami sakit berat pada pemilu serentak 2019,” ujarnya.

Selain itu, menurut dia, alasan pemilu serentak untuk efisiensi anggaran juga tidak terbukti karena pada Pemilu 2019 terjadi kenaikan biaya pemilu.

Amin mengharapkan dukungan penuh dari masyarakat agar upaya reformasi sistem politik dalam rangka menjaga kelangsungan demokrasi dapat memberikan hasil yang baik dan bermanfaat bagi seluruh rakyat Indonesia.

Gugatan tersebut diajukan pada Kamis (24/2) dengan Nomor: 27/PUU/PAN.MK/AP3/02/2022, dan telah tercatat di situs resmi MK. Peninjauan kembali diajukan Ketua Umum Partai Gelora Indonesia Anis Matta bersama Sekjen Mahfuz Sidik dan Wakil Ketua Umum Fahri Hamzah.

Uji materi Pasal 167 Ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 ke Mahkamah Konstitusi dipimpin oleh Amin Fahrudin selaku Ketua Tim Pengacara Partai Gelora Indonesia dengan anggota antara lain Aryo Tyasmoro, Slamet , Andi Saputro, Guntur F Prisanto dan Ahmad Hafiz.

Wartawan: Imam Budilaksono
Redaktur: M Arief Iskandar
HAK CIPTA © ANTARA 2022