Menjadi negara paling bahagia di dunia, orang tua di Afghanistan rela menjual anak-anaknya demi sekarung gandum

Baru-baru ini, Afghanistan menjadi negara paling bahagia di dunia pada tahun 2022. Hal ini berdasarkan Laporan Kebahagiaan Dunia terbaru 2022, yaitu laporan yang dikeluarkan oleh Jaringan Solusi Pembangunan Berkelanjutan untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Dikutip dari CNN, ada beberapa faktor yang membuat Afghanistan menjadi negara paling bahagia di dunia. Misalnya, kenaikan di bawah pemerintah yang didukung AS di Kabul ke tingkat kemiskinan yang tinggi dan kurangnya kesempatan kerja.

Sejak Taliban berkuasa, Afghanistan telah terperosok dalam krisis ekonomi. Hampir semua negara, terutama Barat, memutuskan hubungan dengan Afghanistan dan menghentikan berbagai aliran bantuan.

Warga juga mengalami krisis pangan dan semakin banyak yang mengalami kelaparan. Menurut data PBB, setidaknya 23 juta warga Afghanistan menderita kelaparan ekstrim. Sebanyak 1 juta anak di bawah 5 tahun juga berisiko meninggal karena kelaparan.

Akibatnya, orang tua di Afghanistan terpaksa menjual anak-anak mereka demi karung gandum. Salah satu ibu di Afghanistan, Aziz Gul sangat sedih karena putrinya yang berusia 10 tahun dijual untuk dinikahkan.

Sang suami rupanya menjual anak itu tanpa memberitahunya. Ini dilakukan untuk menghidupi lima anak mereka yang lain. Anak tersebut dijual seharga Rp. 14,2 juta.

“Kalau tidak (dijual), mereka semua akan kelaparan,” kata Aziz Gul mengutip ucapan suaminya, dikutip CNN.

Namun, Aziz Gul menentang keputusan suaminya. Dia berdebat dengan suaminya tentang menikahkan putranya, Qandi. Aziz lebih baik mati daripada harus menerima kenyataan bahwa anaknya harus dijual dan dinikahkan untuk mencegah sebuah keluarga mati kelaparan.

Tak tinggal diam, Aziz Gul pun meminta bantuan saudara dan sesepuh desanya untuk mengajukan proses cerai Qandi meski harus merelakan puluhan juta sebagai imbalannya. Sementara itu, sang suami melarikan diri karena takut Gul akan mengadu kepada rezim Taliban, yang baru-baru ini melarang anak dan pernikahan paksa.

“Saya sangat putus asa. Jika saya tidak punya uang untuk membayar mereka dan tidak bisa menjaga anak saya di sisi saya, saya katakan saya akan bunuh diri. Tapi saya memikirkan anak-anak saya yang lain. Apa yang akan terjadi? untuk mereka? memberi mereka makan?” kata Gul.

Keluarga Aziz Gul bukan satu-satunya yang harus melalui masa-masa sulit ini. Hal yang sama terjadi pada keluarga Hamid Abdullah. Ia terpaksa menjual anaknya untuk menghidupi istrinya yang sedang sakit dan sedang mengandung anak kelimanya.

“Kami tidak punya makanan untuk dimakan,” kata Abdullah.

Sang istri, Bibi Jan, mengatakan mereka tidak punya pilihan lain.

“Ketika kami memutuskan ini (menjual anak), rasanya seperti ada yang mengambil bagian dari tubuh saya,” kata Bibi Jan.

Sementara itu di daerah Badghis, sebuah keluarga sedang mempertimbangkan untuk menjual putra mereka yang berusia 8 tahun, Salahuddin. Sang ibu, Guldasta, meminta suaminya untuk membawa Salahuddin ke pasar dan menjualnya. Mereka harus mengambil pilihan ini karena mereka tidak punya makanan selama berhari-hari.

“Saya tidak ingin menjual putra saya, tetapi saya harus melakukannya,” kata Guldasta.