Dengan demikian, stunting tidak hanya dialami oleh anak-anak yang tinggal jauh dari ibu kota negara.
Jakarta (ANTARA) – Sedikitnya 51,2 persen anak stunting di bawah usia lima tahun berada di lima provinsi terbesar di Indonesia, kata Pj Dirjen Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Murti Utami, Selasa.
Data tersebut dikumpulkan saat survei kondisi gizi balita pada tahun 2021, katanya pada Rakernas 2022 Program Pembangunan Kependudukan dan Keluarga Berencana.
Lima provinsi dengan jumlah anak stunting tertinggi adalah Jawa Barat (1.055.608 anak), Jawa Timur (653.218 anak), Jawa Tengah (543.963 anak), Banten (294.862 anak), dan Sumatera Utara (383.403 anak), tambahnya.
“Dengan demikian, stunting tidak hanya dialami oleh anak-anak yang tinggal jauh dari ibu kota negara. Ternyata Jawa Barat yang sangat dekat dengan Jakarta ini memiliki jumlah balita stunting tertinggi di Indonesia,” papar Pj Dirjen.
Berita terkait: Profesor menyoroti bahaya pengerdilan jangka panjang pada anak-anak
Namun berdasarkan angka prevalensi, provinsi dengan angka stunting tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (37,8 persen), Sulawesi Barat (33,8 persen), Aceh (33,2 persen), dan Nusa Tenggara Barat (31,4 persen), tambahnya.
Provinsi lainnya antara lain Sulawesi Tenggara (30,2 persen), Kalimantan Selatan (30 persen), serta Kalimantan Barat (29,8 persen), katanya.
Jika seorang ibu menderita anemia sejak remaja, kemungkinan besar anaknya akan lahir kerdil, kata Utami.
Oleh karena itu, pihaknya akan memperkuat kerjasama dengan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) untuk memberikan vitamin kepada remaja putri di sekolah atau tambahan asupan gizi bagi ibu yang mengalami gizi buruk kronis, ujarnya.
Sementara itu, Kepala BKKBN Hasto Wardoyo mengatakan kepadatan penduduk juga menjadi salah satu penyebab tingginya angka stunting di lima provinsi terbesar meskipun daerahnya belum berkembang.
Kelima provinsi tersebut sebenarnya tidak memiliki angka prevalensi yang tinggi, ujarnya. Namun, keluarga yang tinggal di provinsi seringkali memiliki anak dalam jumlah besar karena tidak mengatur kelahiran, tambahnya.
Selain itu, tingginya angka pernikahan dini di provinsi-provinsi tersebut, mengakibatkan angka fertilitas total yang tinggi dan kelahiran yang terhambat.
Baca juga: BKKBN Gandeng Kemendiknas Berantas Stunting