Komisi menguraikan faktor-faktor yang menghambat penanganan kekerasan gender

Terobosan untuk memberikan solusi atas kesulitan yang dialami perempuan korban diperlukan untuk memperjuangkan kebenaran, keadilan, dan pemulihan

Jakarta (ANTARA) – Beberapa faktor menjadi penghambat penanganan kekerasan terhadap perempuan berbasis gender oleh berbagai instansi, kata Wakil Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Olivia C. Salampessy.

Dalam acara pembukaan Rekor Tahunan Komnas Perempuan 2022, Senin, ia menginformasikan bahwa faktor-faktor tersebut antara lain keterbatasan sumber daya manusia, akses teknologi informasi dan komunikasi, fasilitas, dan anggaran.

“Ada kekhawatiran ini akan membuat kapasitas respons kasus mandek,” katanya.

KPU yang juga mengalami keterbatasan yang sama diminta untuk segera merespon setiap kasus, katanya.

“Kami hanya bisa menangani 16 kasus per hari,” jelas Salampessy.

Hambatan lain dalam menyelesaikan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan termasuk pencabutan laporan korban, kurangnya bukti, dan sudut pandang aparat penegak hukum yang terbatas, katanya.

Apalagi pelaku kekerasan seksual seringkali berada dekat dengan korban, ujarnya. Selain itu, pelaku juga bisa menjadi sosok yang seharusnya melindungi korban dan menjadi contoh, ujarnya.

Contoh tokoh tersebut antara lain guru, dosen, tokoh agama, aparat penegak hukum, aparatur sipil negara (ASN), tenaga medis, atau pejabat publik, katanya.

“Diseminasi perkawinan anak sebagai pelanggaran hak anak, khususnya anak perempuan, harus terus disebarluaskan,” tegas Salampessy.

Berita terkait: Komnas Perempuan mencatat 338.496 kasus kekerasan berbasis gender pada tahun 2021

Di tengah meningkatnya kekerasan berbasis gender terhadap perempuan yang semakin kompleks dan merajalela, harus ada komitmen dan keterlibatan berbagai pihak untuk penanganan kasus tersebut, ujarnya.

Hal ini terutama penting agar tidak terkesan tidak ada kemajuan, katanya.

Kasus kekerasan seksual berbasis gender terhadap perempuan meningkat 50 persen dari 226.062 kasus pada 2020 menjadi 338.496 kasus pada 2021.

BACA JUGA:  Klaim saksi mata eksplosif mendorong polisi untuk melanjutkan penyelidikan Tangmo

“Terobosan untuk memberikan solusi atas kesulitan yang dialami perempuan korban diperlukan untuk memperjuangkan kebenaran, keadilan, dan pemulihan,” tambahnya.

Berita terkait: Jangan Ragu Ratifikasi RUU PPRT: Komnas Perempuan ke Legislator