Presiden Joko Widodo kembali angkat bicara soal konflik Rusia-Ukraina. Tanpa menyebut nama Rusia, dia menyatakan keprihatinan tentang kegagalan perjanjian gencatan senjata di Ukraina.
“Kegagalan kesepakatan gencatan senjata di Ukraina tidak hanya menyebabkan eskalasi konflik bersenjata, tetapi meningkatnya jumlah korban dan krisis kemanusiaan di Ukraina,” kata Jokowi dalam akun Twitter-nya @Jokowi, Selasa (7/3).
Dia menekankan bahwa perang hanyalah masalah ego. Perang, menurutnya, seringkali melupakan sisi kemanusiaan, dan cenderung menonjolkan kepentingan dan kekuasaan.
Jokowi mengatakan, berdasarkan data UNHCR, setidaknya 1,2 juta orang di Ukraina harus mengungsi ke negara lain. Jika situasi ini terus berlanjut, kata dia, situasi di dunia akan semakin buruk.
“Jika krisis berlanjut, akan ada krisis pengungsi terbesar abad ini. Ini yang harus kita semua cegah agar tidak terjadi,” jelasnya.
Indonesia Bisa Berperan Sebagai Mediator Rusia-Ukraina
Pengamat Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran Teuku Rezasyah mengatakan maksud dari cuitan Jokowi tersebut terkait dengan kemungkinan memburuknya krisis dan meningkatnya korban jiwa jika perang tidak segera dihentikan.
Namun, pernyataan Jokowi yang menyatakan bahwa perang hanyalah ego, diyakini merujuk pada Rusia, Ukraina, dan NATO, dan bukan pada individu tertentu. Reza menjelaskan, Jokowi ingin ketiga pihak selalu menahan diri agar krisis tidak berlanjut.
“Mungkin yang dia maksud adalah ego negara, bukan ego individu, jika ego negara masih bisa dimaklumi. Karena jika ego negara berarti Rusia ingin mempertahankan kepemimpinan kolektif di bekas Uni Soviet, maka jika Ego Ukraina adalah keinginan untuk bisa masuk NATO, masuk Uni Eropa tapi tidak bisa. Kalau artinya jelas,” katanya kepada VOA.
Lebih lanjut Reza menjelaskan, sebenarnya Indonesia bisa menjadi juru damai konflik Rusia-Ukraina. Menurutnya, Jokowi bisa terbang ke Ukraina atau Rusia dengan ide Perjanjian Persahabatan dan Kerjasama dilaksanakan di ASEAN. Ia meyakini, dengan cara ini, konflik diyakini akan segera berakhir.
“(Indonesia) dapat menjadi penentu perdamaian abadi antara Ukraina-Rusia dan NATO. Jadi Ukraina mengatakan saya menarik diri dari permintaan untuk menjadi anggota NATO dan Uni Eropa, dan saya juga percaya bahwa Rusia akan menjamin kemerdekaan dan kedaulatan saya, dan untuk itu dia membuat Perjanjian Persahabatan dan Kerjasama persis seperti yang dilakukan oleh seluruh anggota ASEAN, saling menghormati wilayah masing-masing, tidak mengganggu stabilitas dan tidak mencampuri urusan dalam negeri. Jadi Pak Jokowi terbang ke Rusia atau Ukraina dengan ide ASEAN, nanti dengan dukungan GNB dan OKI selesai,” pungkasnya.
Bukan Sekedar Pernyataan di Media Sosial
Pengamat hubungan internasional dan dosen Dinna Prapto Raharja mengatakan pernyataan Jokowi terkait konflik Rusia-Ukraina di media sosial tentu saja untuk mendorong perdamaian. Namun, Dinna menggarisbawahi bahwa yang dibutuhkan saat ini untuk meredakan konflik adalah harus ada lebih dari sekedar pernyataan. Apalagi konflik ini bukanlah konflik biasa, melainkan konflik yang melibatkan kekuatan negara yang besar.
Menurut dia, ada dua hal yang bisa dilakukan Indonesia untuk bisa berperan meredam konflik. Pertama, kata dia, Indonesia bisa berbicara dengan pihak Ukraina secara diplomatik untuk selalu menciptakan suasana yang kondusif untuk meredakan konflik di sana.
“Artinya tidak perlu penyataan dari pimpinan negara Ukraina yang justru menghambat komunikasi yang sedang berlangsung. Jika dilihat sekarang, baik Ukraina maupun Rusia terus saling membalas di media sosial,” kata Dinna kepada VOA.
Kedua, Indonesia yang saat ini menjabat sebagai Presidensi G20, dan akan menjadi Ketua ASEAN pada tahun 2023, dapat memobilisasi kesadaran negara-negara di dunia, khususnya negara-negara anggota G20, ASEAN, dan Gerakan Non-Blok bahwa ini adalah konflik kekuatan besar. Sehingga menurutnya, Indonesia tidak bisa memainkan perannya sendiri dalam menciptakan perdamaian antara Rusia dan Ukraina.
“Kalau kita niat, kita tidak bisa maju sendiri, karena situasinya kita berhadapan dengan Amerika Serikat, Eropa, belum lagi sekutu Amerika, ditambah Rusia yang juga punya pendukung sendiri. Bagi kita, jadi lebih masuk akal bagi kita. untuk memobilisasi dukungan dari orang lain, jadi kami tidak berbicara atas nama diri kami sendiritapi kepentingan banyak negara,” tambahnya.
“Jadi dalam situasi saat ini, hanya ada satu hal yang bisa kami lakukan. Kami tidak ingin dipaksa berada di satu sisi dan yang lain, bukan karena kami tidak memiliki posisi, tetapi karena kami tahu persis di pihak mana. kita, yang hanya akan meningkatkan ketegangan dan menciptakan polarisasi berkepanjangan yang membahayakan semua pihak,” pungkasnya. [gi/ab]