Jakarta (ANTARA) – Pusat Studi Komunikasi Politik (CPCS) mengajak semua pihak untuk mematuhi konstitusi yang ada sebagai respon atas wacana penundaan Pemilihan Umum 2024 atau periode tambahan kepemimpinan presiden.
“Konstitusi harus menjadi pedoman bagi semua pihak terkait masalah perpanjangan masa jabatan presiden dan tiga masa jabatan presiden,” kata Tri Okta, direktur eksekutif Center for Political Communication Studies (CPCS). SK, di Jakarta, Sabtu.
Ia menilai, selama ini pola komunikasi yang dibangun elite parpol seolah meniadakan konstitusi yang telah menjadi konsensus nasional.
Baca juga: P3S Percaya Penundaan Pilkada 2024 Akan Merugikan Demokrasi
“Oleh karena itu, desakan agar pemilihan ditunda atau masa jabatan presiden tambahan harus dilakukan dalam prosedur konstitusional,” katanya.
Okta menegaskan konstitusi sebagai produk hukum tertinggi membuka ruang bagi proses amandemen untuk mengikuti perkembangan perubahan. Menurut dia, survei itu tidak bisa dijadikan alasan untuk menunda pemilihan atau memperpanjang masa jabatan presiden.
Ia mengatakan, persepsi mayoritas masyarakat yang puas dengan kinerja pemerintah harus diuji melalui pemilu, tidak bisa sembarangan ditentukan oleh pimpinan parpol. Apalagi, DPR dan pemerintah telah menyepakati jadwal pemilihan umum berikutnya pada 14 Februari 2024.
Baca juga: Anggota DPR: Tidak Ada Alasan Logis Penundaan Pemilu 2024
“Kesepakatan ini harus dihormati, terlepas dari aspirasi yang berkembang nantinya, mengingat perlu adanya kepastian, terutama di kalangan pelaku ekonomi,” ujarnya.
Sebelumnya, penentuan jadwal pemilu cukup alot hingga akhirnya jadwal terbaru disetujui. Menurutnya, dengan munculnya usulan agar jadwal tersebut ditunda lagi, dikhawatirkan akan mengganggu dunia usaha dan investasi untuk menyesuaikan diri dengan situasi politik.
Baca juga: JK Sebut Penundaan Pilkada Pelanggaran Konstitusi
Selain itu, Okta meminta pimpinan MPR lebih proaktif membuka jalur komunikasi dengan elemen masyarakat terkait wacana penundaan pemilu atau perubahan masa jabatan presiden.
“Hanya MPR yang berwenang mengubah konstitusi melalui amandemen, tetapi proses amandemen juga harus menyerap aspirasi rakyat seluas-luasnya, tidak dilakukan secara tertutup oleh segelintir elit politik,” kata Okta.
Reporter: Boyke Ledy Watra
Redaktur: Herry Soebanto
HAK CIPTA © ANTARA 2022